PERGILAH (Cerpen)

“Ta, masa mantan aku udah punya pacar sekarang, “ aku mengangguk sambil terdiam. Lagi, lagi, dan lagi topik pembicaraan kami tidak habis-habis membicarakan Nisa, mantannya itu. Dimas pria yang menyandang sebagai pacar aku selama dua tahun belakangan silam ini  kini sedang mengibas-gibaskan tangannya di udara. “tapi gapapa deh, kan ada kamu.“

“Kamu tau dari mana dia udah punya pacar? “ tanya aku sambil menyenderkan tubuh di sofa berwarna hitam ini.

Dimas mengubah posisi duduknya lalu menatapku lekat. “Ta, sekarang tuh udah zaman modern. Aku salker dialah, masa aku nanya langsung, turun dong harga diri aku. “Ucapnya dengan penuh penekanan. Aku kembali terdiam, membiarkan dia terus-menerus menceritakan tentang mantannya itu. Biarkanlah, walaupun sakit, aku sudah terbiasa.

Dimas menepuk-nepuk tanganku pelan. “Tapi untungnya kamu ga cemburuan kalau aku cerita kaya gini, makanya aku betah lama-lama sama kamu. Nih ya, Nisa itu cemburuan, kalau aku ceritain tentang Luna, mantan aku sebelum dia, dia pasti langsung marah-marah, ga jelas banget kan. “

Aku membalasnya dengan senyuman. “Kayanya kamu salah deh...”ucapku dalam hati

“Ta, diam aja. Lapar ya? Aku ambil makanan dulu yaa...” Ucapnya lalu bersiap untu melangkahkan kakinya menuju dapur, namun dengan cepat aku mencegat tangannya. Dia menoleh ke arahku, aku menggeleng seakan menolaknya.

“Mau pulang. ”

Dimas kembali terduduk, dia memang wajah memelasnya. “Yah Tata, masa mau pulang, padahal aku mau ceritain tentang pacarnya mantan aku itu. “

“Aku ngantuk.”

“Yah, yaudah deh gapapa, besok aku jemput kamu ke sini lagi ya. ”

Aku menggeleng cepat. Pikiranku langsung teringat mengenai hal yang akan aku lakukan besok. “Aku ga bisa, mau jemput sepupu aku di bandara.”

“Kalau gitu aku ikutan ya? Aku sendirian di rumah.”

“Yaudah iya.”

.
.
.

Kini, kami berdua tengah berada di dalam mobil. Mobil yang dikendarai Dimas meluncur ke sebuah bandara.  Tanganku bergerak untuk memutar volume ac, entah setiap kali Dimas menceritakan tentang mantannya itu membuat hati dan kepalaku seketika panas, walaupun aku tidak pernah bilang tentang hal itu. Aku menoleh ke arah Dimas, dia memainkan hpnya untung saja sedang lampu merah.

“Ta, liat nih Ta, cowoknya jelekkan? Gantengan aku kan Ta? Emang ya tuh sih Nisa lama-lama seleranya menurun.” Ucap Dimas sambil menyodorkan hpnya ke arahku. Aku mengangguk lalu jariku menunjuk ke arah luar, mengisyaratkan bahwa lampu merah sudah berganti yang artinya sudah boleh jalan.

“Ta, iya ga?”

Aku membuang pandangan keluar jendela. “Iya Dim iya.”

“Nah tuhkan, kamu aja bilang gantengan aku. Kayanya nih ya Ta, sih Nisa di dukunin deh. Soalnya yang aku tau selera Nisa itu tinggi banget, sampe aku pernah ditolak dua kali pas nembak dia, eh yang pas ketiga kali dia baru nerima. “ Begitu mendengar kalimat itu, refleks aku mengelus dada sambil mengucapkan istigfar dalam hati.

Aku memilih memejamkan mata, Dimas masih terus berbicara dan membenarkan kalau hipotesis yang dia buat adalah benar. Aku terus menutup mata sampai ngantuk mendatangiku, sebelum ngantuk membawaku ke alam yang lebih jauh dengan samar aku mendengar suara decakan sebal.

“Kebiasaan deh nih sih Tata, kalau gue lagi cerita suka ketiduran dikira gue pendongeng kali ya. Eh tapi kayanya gue emang pantes deh jadi pendongeng. “ Aku hanya tersenyum dan beberapa saat kemudian aku tidak sadarkan diri. Aku mulai masuk ke dalam mimpi.

Rasanya baru aku tertidur ada sebuah tangan yang menepuk bahunyu pelan. “Ta, Tata bangun !” suara Dimas lagi-lagi terdengar.

“Ya ALLAH, Tata bangun!” Aku membuka mataku lalu menatap sekelilingku dengan mata yang masih guram.

“Udah sampe ya? Kok cepet Dim?” Tanyaku sambil mengucek mata.

“Mas...Mbak... cepat yaa antrian sudah semakin panjang. “ Suara mbak-mbak dari samping sana dan sekarang aku menyadari, ini masih di tol.

“Aduh, Ta mau bayar tol nih, tapi duit aku ketinggalan. Minjem duit kamu dong, nanti aku ganti lima kali lipat, sepuluh kali lipat, berapa kali lipat kek yang penting sekarang minjem duit kamu dulu. Harga diri aku turun drastis ini, udah bawa mobil bagus, udah aku ganteng eh masa dompet kosong.”

Aku menatapnya tidak percaya. Aku mengambil tas pink yang berada disebelahku lalu mengeluarkan dompet milikku dan mengasihnya kepada Dimas. “Nih, pake berapa aja.”

Dia mengambil dompet itu dan mengasih uang lima puluh ribuan. “Nih mbak ambil, kembalinnya juga ambil aja, ga usah malu, di Jakarta kalau malu kelaparan nanti.” Ucap Dimas lalu kembali menjalankan mobilnya.

“Ye, pakai duit cewenya aja belagu, dasar cowok ga modal. “ Dengan mata yang kembali tertutup aku mendengar itu dari arah belakang, semoga saja Dimas tidak mendengarnya. Kalau sampai dia dengar bisa-bisa dua hari ke depan dibahasnya.

“Ta, puter balik gimana ya?

Mataku tiba-tiba terbuka. “Hah? Kamu mau ngapain? “

Dimas menunjuk ke arah belakang. “Itu tadi kayanya mantan aku deh, kasian dia putus sekolah terus jadi penjaga tol. Mau aku tawarin kerja di perusahaan Mama, dia jadi OB mau ga yah? “

“Kayanya bukan deh Dim.”

“Ah iya, soalnya tutur bahasanya kaya aku. Dulu aku nembak dia karena kita memiliki kesamaan. Hmm...tapi ga jadi deh Ta, kayanya penjaga tol udah jadi cita-citanya dari dulu. “

IYAIN!


.
.
.

"Ih lo, temen SMP gue!" Aku melirik ke sebelah, belum sempat aku bertegur sapa kepada Rara, sepupuku. Dimas malah duluan menyapanya. Ucapan Dimas hanya dibalas dengan senyuman.
"Nunggu gue lama ya Ta?" tanya Rara dengan intonasi yang pelan.
"Iya tap—" ucapanku terputus seketika.

"Ah, engga kok Ra, kita baru aja dateng. Iyakan Ta?" tanya Dimas sambil menyenggol-nyenggol tanganku. Dengan sesulit mungkin aku memaksakan bibirku untuk tersenyum lalu mengangguk.

"Iya baru aja datang. " Jawabku berbohong. Dimas mengangguk dengan wajah sok tampannya, sedangkan Rara kembali tersenyum.

"Bagus deh kalau gitu. BTW, lo Dimaskan? Cowo—"

"Cowo yang paling ganteng seantero sekolah dulu."

Aku membuang pandangan, Dimas emang ngeselin banget. Di mana aja, sama siapa aja, kapan aja bawelnya pasti keluar. Aku sendiri juga bingung kenapa nerima cowo yang aneh kaya gini, walaupun aneh tapi aku sayang.

Rara terkekeh pelan. Rara emang cantik sih, pantesan aja dari tadi Dimas ga henti-hentinya memandang Rara. "Jadi inget dulu..." ucap Rara dengan mata yang melirik-lirik ke atas, khas seperti seseorang yang sedang membayangkan masa-masa dulu. Kalau sudah seperti ini siaga satu! Dimas bisa benar-benar keluar lagi kebawelannya.

"Eh udah pulang yuk. Ra, mama nunggu kamu di rumah. " Ucapku dengan niatan untuk menghentikan semua ini.

Kami semua keluar berjalan menuju mobil. Sesampainya di sebelah mobil aku membuka pintu sebelah kemudi, namun ada tangan yang mencegatku. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Dimas di sana. " Ta, ada tamu harus kita hormati. Kamu di belakang aja ya? Biar Rara di sebelah aku." Untuk hari ini hatiku beberapa kali tertusuk jarum yang luar biasa tajam, sangat sakit dan benar-benar menusuk. Tanpa menjawab aku langsung membuka pintu belakang dan masuk ke dalamnya.

Diperjalanan aku hanya memainkan hpku sambil mendengarkan musik melalui earphone, walaupun sudah memakai earphone suara berisik di depan sana masih terdengar. Dua orang yang layaknya sebagai sepasang kekasih tengah mengenang masa SMP mereka dulu. Begitu asyik dan menyenangkan rasanya kedua orang itu sampai tidak memikirkan seseorang di belakangnya seperti seekor nyamuk. Sebenarnya pacarnya siapa sih?

"Tata, liat deh, masa Dimas jelek banget dulu!" ucap Rara sambil menyodorkan hpnya ke arah aku. Aku mengambil benda itu dan melihatnya, lagi-lagi hati aku beristigfar, di foto itu Dimas sedang berfoto dan hanya dia prianya lima orang lagi adalah seorang perempuan dan yang membuat hatiku kembali mencelos ada sebuah kalimat dibawahnya 'Wey liat, semuanya udah berhasil jadi mantan gue' kalimat itu tertulis dengan bangganya.

Aku menyodorkan kembali hpnya ke arah Rara. "Nih Ra, engga kok biasa aja mukanya." Jawab aku sekenanya.
Beberapa saat kemudian mereka sampailah di rumah Tata. Rara dan Tata masuk ke dalam, sedangkan Dimas segera pulang, dengan alasan cucian belum diangkatin. Rara dan Tata berjalan ke ruang keluarga, di sana sudah berkumpul papa dan mama Tata, mereka menyapa Rara dan menyuruh gadis itu untuk duduk di tengah-tengahnya. Aku malas untuk itu, aku lelah hari ini, hatiku yang sakit memang banyak mengeluarkan energi.

Aku menaiki tangga dan berjalan ke arah kamarku. Aku langsung menjatuhkan diriku di sana, belum sempat aku memejamkan mata aku merasakan hpku bergetar. Dengan malas aku mengambilnya di tas dan melihat benda tipis itu, Dimas Mengirimkan dia pesan.


                                                                 Chat

Dimas: Ta, kamu tau ga? ternyata Rara cinta pertama aku di SMP
Dimas: Ta, kok dia tambah cantik sih?

Dimas: Ta minta id dong

Me: idnya> BenciDimas

Dimas: Serius elah Ta!

Dimas: Kamu cemburu ya? Masa Tata bisa cemburu, engga
banget ah.

Me: Mengirim kontak

Dimas: Nah, jadi makin cinta.

Dimas: Pacar aku emang terbaik.
.
.
.
Ta, Dimas emang siapa lo sih?"

Pertanyaan itu akhirnya keluar juga. Aku tau memang aku dengan Dimas tidak seperti orang berpacaran pada umumnya, namun apa tidak sedikit terduga kalau aku dengan Dimas berpacaran? Apa aku dengan Dimas terlalu jauh? Apa Dimas yang terlalu menjauh dariku?

"Emang kenapa?" tanyaku berbalik.

Rara mengambil bantal hellokitty di sebelahnya, dia memeluk bantal itu sambil senyum-senyum. "Ya... gapapa sih. Soalnya dia ngajak gue jalan Ta, belum gue iyain sih. Makanya gue nanya lo dulu, gue takutnya lo suka sama dia atau jangan-jangan lo pacarnya dia." Ucapnya dengan mata berbinar-binar. Lagi-lagi hatiku mencelos begitu saja, Dimas kapan sih ga nyakitin?!

Aku menghela nafas pelan, aku mencoba tersenyum sambil menggeleng. "Gue bukan siapa-siapa dia. Lo iyain aja, kayanya dia suka sama lo deh Ra. Cieee Rara cieee." Seketika ada semburan merah di pipinya, dia terkekeh dengan mata yang berbinar. Dia senang, aku tau itu. Sebagai sepupu aku senang kalau dia senang, walaupun aku yang harus menahan kesedihan.

"Benerankan? Yaudah, gue balik ke kamar ya, Ta. Mau teleponan sama Dimas." Dia bangun dari ranjangku, tidak berapa lama suara pintu tertutup terdengar. 

Aku menjatuhkan tubuhku mendekap bantal dan meluapkan kesakitan di sana, aku menangis. Aku meringkuk sambil mendekap bantal dan terisak di sana. Air mata berjatuhan beberapa kali, hatiku rasanya sesak, dan perasaanku hancur berkeping-keping. Pasalnya aku saja yang pacarnya sudah dua tahun  pacaran, baru dua kali di ajak jalan. Biasanya pacaran juga cuma di rumah, paling bagus juga cuma makan pecel lele di depan rumah Dimas, itu juga jarang.


.
.
.


Mataku membulat sempurna, melihat sebuah post yang baru saja di upload oleh Dimas di akun pathnya. Dia kembali jalan berdua dengan Rara yang kemarin aja sakitnya belum hilang, ditambah lagi dengan ini. Aku langsung membuka pesan dan langsung mengirimkan pesan singkat kepadanya.

                           CHAT

Me: Gilaa yaa...

Dimas: Kenapa Ta?

Me: Aku di tag di post kamu di Path. Padahal aku ga ikut.

Dimas:Gapapa yang penting kamu tau, Rara sebelumnya udah bilangkan? Kalau aku mau jalan sama dia.

Me: Iya udah.

Dimas: Nah, makanya aku tag kamu biar Mama aku ga nanya-nanya kok kamu ga ikut atau apalah dan biar aku ga disangka selingkuh. Soalnya Mama ga tau kalau Rara itu saudara kamu.

Me: Oh gitu 

Dimas: Iya. Jangan lupa like terus komen yang panjang ya Ta.

Me: 





Aku menutup aplikasi pesan dan membuka kembali aplikasi path, mencari postan tadi dan mengetik sebuah komentar.




 Di Grand Indonesia          ️78
      sama Rara dan Tata
     


Tata: Wihh aku ditag. Tadi seru      banget ya, sampe aku bener-bener lupa.


.
.
.


Aku menoleh ke luar jendela, masih hujan. Padahal waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam, tetapi hujan tak kunjung berhenti. Aku kembali menyenderkan tubuhku di sofa, cafe ini sudah sepi menyisahkan aku sendirian disini. Beberapa pelayan tengah membersihkan meja dan beberapa lagi tengah menyapu lantai. Sebelum aku diusir, aku langsung menyelempangkan tasku ke bahu dan pergi menuju luar.

Air hujan menyentuh kulitku beberapa kali, rasanya dingin. Aku ingin memesan taksi atau ojek online, namun aku baru tersadar hpku mati. Aku terus berjalan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada taksi satupun. Aku terus berjalan menahan tubuhku yang mengigil hebat, tanganku mulai berkeriput dan memutih. Aku kedinginan, tapi aku harus apa selain terus berjalan?!

"Tata bandel ya hujan-hujanan. Kalau mau hujan-hujanan ngajak aku dong." Suara itu, aku menoleh ke samping Dimas berdiri di sana dengan tangan yang sudah memegang jaket. Aku tertegun, rasanya ini seperti sebuah kebetulan. Dimas berjalan jaket dan memakaikannya ditubuhku. 

"Yuk Ta, hujan-hujanan bareng. Kangen rasanya mandi hujan." Belum sempat aku menjawab Dimas sudah menarik tanganku, tetapi aku sudah tidak kuat. Aku benar-benar tidak bisa menopang tubuhku dan seketika semuanya gelap.




.
.
.

Aku membuka mataku perlahan, cahaya lampu mulai memasuki retinaku. Aku menyapu pandangan ke sudut ruangan, aku tau ruangan ini, kamar Dimas. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi tadi, rupanya aku pingsan. Aku melepaskan selimut dan terduduk menatap sekeliling dengan mata yang tidak seburam tadi. Mataku terkunci begitu melihat sebuah kotak berbentuk yang berada di meja sana. Dengan langkah yang lemas aku mengambil kotak itu dan tidak lupa mengunci kamar Dimas. 

Aku membukanya terlihat jelas semua ini adalah foto-foto dan ada sebuah buku kecil di dalamnya. Aku mengambil salah satu foto itu dan melihatnya lebih dekat, foto Dimas dengan Rara sambil berpelukan dengan menggunakan seragam putih biru. Aku mulai membalik foto itu dan ada sebuah tulisan dibawahnya, 'Ini foto pertama kali kita, Ra.' 

Mataku basah begitu aku melihat foto-foto itu sampai habis. Menyisahkan satu buku pink yang tersisa. Aku membukanya dan membaca semuanya, aku sakit, sangat sakit. Ada sebuah kalimat yang sangat menusuk di sana. 'Cinta pertama tidak akan pernah mati, karena dialah orang pertama yang mengajarkan aku artinya cinta.' Air mataku turun dengan begitu derasnya. Aku memasuki semuanya kembali dengan asal, aku mengambil tasku dan berlari ke bawah, aku ingin pulang, hati aku sakit, rasa sakit ini tidak seperti biasanya.

Aku membuka pintu depan rumah Dimas bertepatan dengan Dimas yang berada di teras. Aku menunduk sambil terus berjalan, tetapi aku tau Dimas melihatku dengan tatapan bingung. Dimas bangun dari duduknya dan menarik pergelangan tanganku. Aku terduduk di bangku teras dengan pandangan yang terus menunduk.

"Kamu kenapa? Nangis gara-gara kita ga jadi mandi hujan bareng? Maafin deh Ra. Nanti kalau hujan lagi aku janji aku bakalan ngajak kamu mandi hujan bareng." Ucap Dimas merasa bersalah.

Aku menegakan pandangan mata kami bertemu, aku kembali mengelap air mataku. "Aku cape Dimas."

"Cape? Kamu baru bangun pingsan masa cape."

Aku menggeleng cepat. "Aku cape pacaran kaya gini sama kamu." Dimas terdiam seketika.

"Boleh ga kali ini aja kita gantian? Aku cerita panjang kamu dengerin aku. Sekali aja karena ini yang pertama dan terakhir." Dimas tidak menjawab, dia hanya mengangguk menyetujui.

"Aku cape terus disakitin sama kamu, hampir semua hal yang kamu lakuin itu nyakitin aku, semua ucapan kamu, semua cerita-cerita kamu itu nyakitin aku. Aku ga suka kamu ceritain tentang mantan-mantan kamu, aku ga suka. Kesannya kamu kaya masih suka sama mereka, aku ga usah kamu memperdulikan tentang mereka aku ga suka. AKU CEMBURU DIMAS! AKU CEMBURU!."Ucapku dengan isakan tangis yang terus keluar. Biarlah dia tau sudah waktunya karena aku sudah tidak kuat lagi menahan ini semua.

"Apalagi ditambah dengan ini," aku menghela nafas panjang. "Kamu deket lagi sama cinta pertama kamu, aku tau semuanya. Kamu masih cinta sama dia, kamu jalan sama dia, kamu bahagia kan?Tapi," lagi-lagi aku mengusap air mataku yang terjatuh. "Kenapa harus sama sepupu aku sih? Kenapa sama Rara? Kenapa sama sepupu aku?!" Ucapku tidak terima.

"Kalian dekat, kalian sama-sama cinta. Aku bisa apa? Aku pacar kamu tapi aku ga pernah merasa seperti pacar kamu, aku cuma merasa seperti teman curhat kamu. Aku sayang, aku cinta sama kamu, tapi kamu kayanya engga kaya gitu sama aku. Aku cape Dim, aku ga mau bertahan dengan kesakitan yang luar biasa hebat nantinya, aku lemah, aku ga kuat lagi."

Aku membuang pandangan ke samping. Aku menghela nafas beberapa kali, ini berat tapi aku harus melakukannya demi diri aku sendiri. Demi  meluruskan segala kebodohan yang aku buat sendiri. Demi masa depan yang lebih baik. Dan demi rasa sakit yang tidak terulang lagi.

Aku menatap Dimas kembali, air mata belum juga berhenti hingga detik ini. "Dim kita putus ya. Sebenernya aku berat melepaskan kamu, kita kenal udah lama, kita dekat udah lama, dan kita pacaran udah cukup lama. Mungkin akan ada air mata yang terjatuh nantinya. Mungkin akan ada rasa sakit saat kita ketemu nantinya. Mungkin akan ada kekecewaan nantinya. Mungkin akan ada kerinduan nantinya. Dan itu semua berpusat kepada kamu."

"Dim, melepaskan kamu itu seperti melepaskan sahabat aku sendiri. Pertama kalinya pasti aku nangis. Kedua kalinya aku masih nangis saat bertemu dengannya. Ketiga kalinya aku mulai terbiasa. Keempat kalinya dia udah ga ada di pikiran aku. Mungkin nantinya kamu seperti itu. Makasih untuk semuanya, untuk cerita-cerita kamu itu, walaupun sakit. Setidaknya cerita itulah memori yang tersiap di dalam otak aku."

Aku tersenyum bersamaan dengan air mata yang terjatuh mengenai pipi. Dimas hanya menatapku tanpa berkedip. "Aku pulang ya...makasih ini memori terakhir yang kamu buat, indah banget." Dia masih terdiam. Aku bangun dari dudukku dan melangkahkan kaki menuju gerbang depan.

"Ta...." dia memanggilku. 


Aku menoleh ke belakang, Dimas mengambil sesuatu dari kantungnya dan memberikan barang itu ke arahku. Dia menarik tanganku meletakan benda itu di telapak tangan itu dan menutupnya dengan jari-jari tanganku. "Ipod sama earphone aku buat kamu. Kalau kamu temuin pria kaya aku diluar sana daripada kamu sakit hati mendengar ceritanya mendingan kamu tutup telinga kamu dengan itu." Aku mengangguk tanpa mengucapkan terimakasih aku melangkahkan kembali langkahku.

"Ta...." panggilnya lagi. Aku terdiam sebentar, aku terisak pelan air mata masih menuruni pipiku. Aku berbalik dan menatapnya dia menyodorkan setangkai bunga mawar putih.

"Tadi, aku beli tempe mendoan terus ga ada kembaliannya, kebetulan sebelahnya tukang bunga aku beli bunga itu Ta. Aku minta tolong, tolong kasiin bunga ini buat Rara dan tolong bilangin besok aku mau jemput dia jam sepuluh." Aku kembali tersenyum dan disaat itu juga air mataku turun kembali. 

"Iya, pasti aku bilangin." Ucapku setelah itu berbalik menuju gerbang depan sana dengan langkah yang cepat.

"Pergilah dari hidup aku, pergilah mencari kebahagiaan kamu, pergilah, aku baik-baik saja." Ucapku di dalam hati.




END.....


Komentar

Postingan populer dari blog ini

wattpad

Little Woman (Cerpen)

Positive Body Image (Cerpen)